Editor
KOMPAS.com - Ada sejumlah tradisi di Indramayu, yang masih lestari hingga saat ini.
Tradisi di Indramayu tersebut antara lain digunakan sebagai tolak bala.
Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kebisaan turun-temurun yang masih dijalankan oleh masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa tradisi di Indramayu.
Mapag Tamba berasal dari kata mapag yang berarti menjemput atau menyambut, sedangkan tamba berarti obat.
Mapag Tamba diartikan sebagai obat untuk bidang pertanian pada zaman dahulu, hal tersebut karena saat itu tidak ada insektisida.
Tradisi Mapag Tamba biasanya dilakukan setiap musim tanam rendeng pada saat padi berusia 40-50 hari. Tradisi ini biasanya digelar setiap hari Jumat.
Tujuan Mapag Tamba tidak lain agar tanaman terhindar dari penyakit dan hama. Sebuah kearifan lokal yang dilakukan masyarakat zaman dahulu sebelum ada obat tanaman.
Ritual tersebut dilakukan dengan mengutus orang-orang pilihan untuk melakukan tradisi Mapag Tamba.
Baca juga: Ngarot, Tradisi Sambut Musim Tanam dan Mencari Jodoh
Para utusan akan mengenakan pakaian putih sebagai simbol kesucian dan membawa bumbung bambu yang berisi air dari 7 mata air.
Masyarakat menyebut tahap tersebut dengan istilah air suci.
Pada malam hari sebelum pelaksaaan tradisi, air didoakan terlebih dahulu. Air suci kemudian baru disebar ke seluruh penjuru batas desa.
Keunikannnya, petugas Mapag Tamba harus puasa bicara hingga upacara selesai.
Tradisi Bobotan adalah salah satu peninggalan nenek moyang yang dilakukan masyarakat kabupaten Indramayu pada sekitar tahun 1960-1980.
Tradisi Bobotan adalah tradisi penangkal bala.
Saat ini tradisi Bobotan hampir punah karena makin sedikit masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, salah satunya Kecamatan Cikendung.
Tradisi Bobotan adalah penimbangan yang berhubungan keturunan, misalnya jika memiliki anak tunggal laki-laki atau perempuan.
Berat timbangan harus seimbang dengan berat badan anak.
Barang-barang pemberat timbangan adalah barang-barang berharga, seperti pakaian, emas, perak, uang, beras, dan lainnya.
Barang-barang tersebut kemudian akan menjadi harta anak yang menjadi bekal hidupnya.
Pada saat pelaksanaan tradisi, prosesi penimbangan dilakukan dengan membaca kidung yang membentuk sinom atau dhangdhanggula selama 15-30 menit.
Sambil mendengarkan kidung, anak yang ditimbang akan melemparkan uang di tempat yang telah disediakan.
Uang tersebut nantinya akan menjadi milik tukang timbang. Jumlah uang yang diterima sekitar Rp 1 juta hingga Rp 5 juta tergantung ekonomi pemiliknya.
Tujuan Bobotan adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk diberikan keselamatan dunia dan akhirat serta untuk membina keharmonisan keluarga.
Tujuan lainnya agar anak memperoleh keselamatan, perlindungan, dan kemulyaan.
Tradisi Bujanggaan adalah salah satu tradisi di Indramayu.Tradisi Bujanggaan adalah kesenian warisan leluhur di Indramayu.
Dalam pagelaran kesenian tersebut banyak mengambil sumber dari tembang babad di dalam naskah kuno babad itu sendiri.
Baca juga: Mengenal Ragam Tradisi Bangka Belitung, dari Kuliner hingga Berpantun
Bujanggaan menampilkan cerita yang diambil dari naskah kuno yang disebut wawacan atau serat, terutama dongeng yang dituturkan dalam bentuk pupuh berupa puisi tradisional.
Dalam bahasa Sunda, Ngarot merupakan istilah minum/ngaleueut, Nga-rot. Dalam bahasa Sansekerta berupa Ngaruat, yang berarti bebas dari kutukan.
Ngarot merupakan upacara adat yang terdapat di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Tradisi Ngarot sebagai ucapan syukur atas datangnya musim tanam.
Tradisi Ngarot selalu dilaksanakan pada bulan Desember pada minggu ke-3 setiap hari Rabu, yang dianggap keramat.
Peserta tradisi Ngarot adalah pemuda-pemudi yang masih perawan dan perjaka. Maksudnya tidak lain untuk mengumpulkan pemuda-pemudi yang nantinya akan bekerja sebagai petani.
Tujuan tradisi Ngarot adalah untuk membina pergaulan yang sehat, saling mengenal, maupun menyesuaikan sikap sesuai dengan adat budaya.
Mapag Sri adalah tradisi yang dilakukan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput dan sri adalah padi.
Tradisi Mapag Sri dilakukan menjelang musim panen. Meskipun, panen berlangsung setiap tahun namun tradisi tersebut tidak dilakukan setiap tahun.
Hal tersebut dengan pertimbangan keamanan dan keburukan hasil panen, sehingga tradisi tersebut tidak dilakukan.
Sebelum upacara dimulai, kepala desa akan melakukan musyawarah dengan sesepuh desa atau pemuka masyarakat.
Musyawarah untuk menentukan hari dan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara.
Tahap berikutnya adalah pengecekan ke sawah-sawah, jika padi telah menguning maka ada pungutan dana secara gotong royong sesuai kemampuan masyarakat untuk pelaksaan tradisi.
Sumber: