Kamal yang juga anggota kelompok tani Tunas Harapan membandingkan, efektivitas penggunaan pompa listrik.
Bila menggunakan pompa diesel berbasis BBM, petani menghabiskan biaya sekitar Rp150.000-200.000 perhari untuk mengaliri air di atas lahan satu hektar.
Sementara, bila menggunakan pompa listrik, petani hanya menghabiskan biaya sekitar Rp15.000-20.000 perhari dengan luas area teraliri air satu hektar.
Sehingga bila ditotal, petani yang menggunakan pompa BBM menghabiskan biaya pengairan sekitar Rp4,8 juta agar dapat mengaliri air di lahan satu hektar. Jumlah ini masih belum menghitung pengeluaran penjaga diesel selama beroperasi.
Gangguan air yang lambat dan penyedotan yang kurang kuat untuk mengaliri sawah yang luas, membuat biaya operasional petani semakin membengkak.
Sementara, petani yang menggunakan pompa listrik, hanya mengeluarkan biaya Rp480.000 per hektar.
Tenaga yang dikeluarkan pompa untuk menarik dan mendorong air pun sangat kuat, sehingga air dengan cepat menyebar ke seluruh luas area yang hendak dialiri air, hanya dalam beberapa jam.
Bantuan ini, kata Kamal, berhasil mengubah pola pikir 80 petani di Desa Leuwidingding.
Sejak dioperasionalkan pada Kamis (19/9/2024), petani mulai menanam padi pada MT3, dari yang semula hanya 40 persen petani, kini nyaris 100 persen.
Keengganan petani menanam padi di MT3 karena membutuhkan banyak modal, dan berujung pada kerugian, seperti yang dialami Yuinah dan Rukmana.
"Dari total 61 hektar, hanya 30 hektar yang ditanam pada masa MT.3. Ini terjadi karena para petani harus modal berkali lipat. Tetapi setelah launching pompa listrik, seluruh petani mendadak garap lahan karena pasokan air melimpah," kata Kamal, di saung milik Yuinah.
Tak hanya tanam MT3, Kamal bersama sejumlah petani memutuskan untuk menanam padi di sawah tadah hujan. Mereka memasang pompa listrik untuk mengaliri air agar sawah hidup kembali.
Aep Saefullah, Ketua Kelompok Tani Tunas Harapan, menyebut program pompa listrik menginspirasi sejumlah petani lain.
Pasca-diluncurkan, Aep berulang kali didatangi beberapa petani dari desa tetangga. Mereka meminta Aep membantu proses pemasangan pompa listrik di desa tetangga.
"Itu juga petani desa tetangga main ke rumah saya, nanya-nanya, terus dia minta bantu pasangin pompa listrik, mau nganggarin pakai dana desa sendiri. Jadi pompa listrik banyak yang niru sekarang, Mas," kata Aep, melalui sambungan telpon, Selasa (29/10/2024) siang.
Aep yang juga ketua petani milenial, menyebut sarana pertanian yang mudah membuat dirinya dan teman-teman petani milenial yang semula bekerja sebagai kuli bangunan di perantauan, memilih pulang dan menjadi petani di desanya.
Dia meyakini selain menghasilkan pendapatan lebih, menjadi petani tentu meningkatkan ketahanan pangan di desa.