BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Di tengah cuaca dingin karena hujan, pencarian kakek Endang terus dilakukan.
Petani usia 97 tahun itu tertimpa lumpur dan reruntuhan longsor di Kampung Pojok Girang, Desa Cikahuripan, Lembang.
Jumat (23/5/2025) sore yang seharusnya menjadi akhir dari rutinitas harian di kebun, berubah menjadi petaka bagi Endang.
Ia diduga tersapu longsor dan banjir bandang dari tebing di belakang kebunnya, tepat saat ia memilih berteduh di sebuah gubuk, menunda pulang bersama rekan-rekannya.
Baca juga: Tanah Longsor Tutup Akses Jalan ke Dieng, BPBD Wonosobo Kerahkan Alat Berat
Di antara aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara, Dayat Saepuloh (53), rekan Endang, tak bisa melupakan ajakannya sore itu.
"Jadi kalau petani lainnya itu pulang, soalnya memang hujan deras. Cuma abah (Endang) enggak mau, dia bilangnya 'Abah mau tidur di sini'," kata Dayat saat ditemui, Sabtu (24/5/2025).
Di usia senja yang seharusnya dihabiskan dengan tenang, Endang masih setia pada rutinitasnya sebagai petani, menyatu dengan tanah dan hasil buminya.
Kebun itu bukan sekadar lahan, melainkan bagian dari hidupnya, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktu, mencari nafkah, dan mungkin juga melarikan diri dari bisingnya dunia.
Kampung Pojok Girang, yang namanya begitu sederhana, kini menjadi saksi bisu pencarian Endang.
Setiap sudut jalan setapak, setiap aliran sungai kecil yang meliuk di antara perbukitan, seolah menyimpan cerita tentang sosok Abah Endang yang dikenal gigih.
Baca juga: 13 Korban Longsor di Pegunungan Arfak Papua Barat Berhasil Diidentifikasi
Warga kampung berbondong-bondong, tanpa pamrih, menyumbangkan tenaga dan waktu mereka dalam upaya menemukan tetangga sekaligus sesepuh yang mereka hormati.
Sekitar pukul 15.30 WIB kemarin, kabar buruk itu datang, menyebar cepat dari mulut ke mulut, memecah kesunyian sore yang diselimuti hujan.
Endang hilang.
Kata itu seperti petir di siang bolong, mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya.
Tak ada yang menyangka, gubuk sederhana yang menjadi tempat berteduh itu akan menjadi titik terakhir jejak Endang sebelum ia menghilang ditelan amukan alam.
"Jadi kita tahu sekitar jam 3 atau setengah 4 sore, kemudian kita cari. Kemungkinan memang ke selokan, soalnya barang-barang Abah, termasuk singkong yang dibekal itu ada di ujung selokan," kata Dayat, menunjuk ke arah selokan yang kini dipenuhi lumpur.
Singkong bekal yang tergeletak di sana seolah menjadi saksi bisu akan keberadaan terakhir Endang.
Baca juga: Tebing Setinggi 50 Meter di Gemulung Tonggoh Cirebon Longsor, Sejumlah Rumah Rusak
Barang-barang itu menjadi titik harapan sekaligus kepiluan, bahwa Endang memang ada di sana, sebelum arus deras menyeretnya pergi.
Pencarian pun dimulai.
Keluarga dan warga segera bergerak, menyusuri setiap celah, mengangkat bebatuan, dan menyibak reruntuhan, berharap menemukan petunjuk.
Mereka dibalut kecemasan.
Setiap menit berlalu, harapan seolah bersaing dengan keputusasaan yang perlahan merayapi.
Namun, tekad untuk menemukan Endang tidak padam.
Sementara pencarian tanpa henti terus dilakukan, Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail, turut mendatangi keluarga korban untuk menyampaikan dukanya.
Kehadirannya bukan sekadar simbol, melainkan sebuah pernyataan bahwa pemerintah daerah hadir di tengah kesulitan warganya.
Ia memahami betul bagaimana alam bisa begitu mendadak dan mematikan, meninggalkan luka dan duka yang mendalam.
"Tadi sudah dicek juga, ternyata memang longsornya dari tebing yang sangat miring. Kita terus upayakan pencarian, tapi petugas diingatkan supaya menjaga keselamatan juga karena cuaca ekstrem masih terus terjadi," ujar Jeje.
Kondisi medan yang sulit menjadi kendala utama.
Lumpur yang sangat dalam, sisa-sisa material longsor, serta potensi longsor susulan akibat cuaca ekstrem, menjadikan proses pencarian layaknya perjuangan melawan waktu dan elemen alam.
Setiap langkah tim gabungan dari BPBD Bandung Barat, Basarnas, TNI/Polri, serta relawan adalah sebuah tantangan.
Mereka menggali, membersihkan, dan menyisir area yang luas dengan alat seadanya, mengandalkan insting dan pengalaman.
Setiap galian adalah harapan, setiap tetes keringat adalah doa.
Baca juga: Jalur Piket Nol Longsor, Arus Lalu Lintas Lumajang-Malang Dialihkan via Probolinggo
Masyarakat berharap Endang bisa ditemukan, setidaknya untuk memberikan ketenangan bagi keluarga yang menanti dalam kecemasan.
Tragedi ini menjadi pengingat pahit tentang kerapuhan hidup manusia di hadapan kekuatan alam, sekaligus menyoroti solidaritas dan kepedulian yang masih mengakar kuat di tengah masyarakat.
Di tengah ketidakpastian ini, gubuk yang kini telah hancur itu menyisakan pertanyaan.
Apa yang dipikirkan Endang saat ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di sana?
Mungkin ia hanya ingin menghindar dari derasnya hujan, mencari kehangatan sesaat sebelum pulang ke rumah.
Namun, keputusan kecil itu kini berujung pada pencarian yang tak berujung, meninggalkan duka yang mendalam dan sebuah cerita tentang perjuangan manusia melawan takdir alam di Pojok Girang.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang