Editor
“Konservasi bukan slogan. Kami punya 48.000 hektar hutan, dan ini penyumbang karbon terbesar di Jabar. Kuningan adalah paru-paru. Harus ada insentif karbon trade,” tegasnya.
Meski begitu, Dian menolak investasi yang merusak lingkungan.
“Kuningan bukan anti investor. Tapi harus ada zona, harus hijau, dan seimbang.”
Dalam 100 hari kerja, fokus utamanya ada dua: perbaikan data dan infrastruktur dasar.
“Kita mulai dari data yang akurat. Selama ini banyak program tidak efektif karena datanya lemah. Lalu 800 km jalan yang ada, 200 km-nya rusak. Itu jadi prioritas, termasuk layanan kesehatan,” ujarnya.
Dian juga menggagas “Pagiku Cerahku”, program menyapa murid sejak pagi. Guru wajib hadir di sekolah jam 7 pagi.
“Karakter itu kunci. Saya ingin sekolah jadi rumah kedua. Guru bukan sekadar hadir, tapi menginspirasi,” katanya.
Ia juga meluncurkan Rumah Guru, sistem pendampingan daring yang memungkinkan guru curhat, mendapat pelatihan akhlak dan kompetensi.
“Guru juga manusia. Mereka harus punya tempat untuk bertumbuh,” ujarnya.
Dengan program-program itu, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah mencapai 79 persen, dan 81,6 persen warga Kuningan optimistis dengan arah pembangunan.
Lewat kanal “Lapor Kuningan Melesat”, warga bisa menyampaikan keluhan langsung, mulai dari masalah BPJS, jalan rusak, hingga biaya sekolah.
“Kita ingin dua arah. Pemerintah hadir menyelesaikan keluhan nyata, bukan hanya membangun pencitraan,” tegasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang