BANDUNG, KOMPAS.com - Para penganut aliran kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya bisa bernafas lega setelah Mahkamah Konstitusi menganulir Pasal 61 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada November 2017.
Mahkamah Konstitusi juga membatalkan Pasal 64 ayat 1 dan 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
Isi pasal itu adalah kolom agama untuk penduduk yang kepercayaanya belum diakui atau penghayat kepercayaan tak diisi, tapi tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.
Baca juga: Sunda Wiwitan: Kami Menolak, Kami Akan Halangi Eksekusi
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penghayat kepercayaan berhak mencantumkan kepercayaan mereka di identitas kependudukan, seperti KTP dan kartu keluarga.
Jauh sebelumnya, para penganut aliran kepercayaan yang hidup di Indonesia mengalami situasi yang pelik terkait pengakuan negara terhadap keberadaan mereka.
Hal serupa pernah dialami oleh penganut kepercayaan Aliran Kebatinan Perjalan (AKP) di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Setiawan alias Alo (40), penyuluh terampil penganut kepercayaan, menceritakan pengalamannya saat belum ada kebijakan pemerintah terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Semasa kecil Alo sering merasa aneh tumbuh sebagai penganut aliran kepercayaan.
Sejak sekolah dasar (SD), guru di sekolah kerap merasa canggung ketika akan mengajarkan Alo sesuatu. Terlebih, soal pendidikan agama.
"Sebelum ada aturan itu, memang kita terasa aneh. Saya mesti berkali-kali mengenalkan diri bahwa saya bukan seorang Muslim atau enam agama yang diakui pemerintah (pada saat itu)," katanya kepada Kompas.com, Jumat (3/6/2022).
Baca juga: Mahasiswi di Palopo Dibaiat Penganut Aliran yang Diduga Sesat, Kemenag Gelar Pertemuan
Saat itu, Alo melihat keraguan dari duru di sekolah dasar. Tak aneh, kata dia, jika terjadi rasa canggung atau terbentuk kekakuan ketika proses pengajaran.
Kendati merasa aneh, Alo secara pribadi enggan melihat hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi.
Bahkan, ia pernah meminta gurunya agar tidak ragu mengajarkan sesuatu padanya. Termasuk pendidikan agama di luar yang ia yakini.
"Karena saya juga diajarkan orangtua bahwa setiap ajaran itu pasti punya perbedaan tapi ada persamaannya juga bahkan tujuannya baik semua, tapi kalau cara penyampaian tergantung orang yang menyampaikan," ujarnya.