Jika terjadi kesalahan, risiko dimarahi oleh pimpinan pun menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh Masri dan kawan-kawan.
Lantaran, ingin terlihat full service dalam melayani penumpang, tak jarang seorang porter dianggap bawel oleh para penumpang.
"Pernah dimarahin, karena salah menempatkan penumpang, terus saat mengangkut barang milik penumpang juga saya pernah dimarahin, suka dukanya itu sih yang paling kerasa mah," tuturnya.
Porter di KAI terbagi menjadi dua tim. Satu tim, kata Masri menggunakan pakaian biru tua, sedangkan tim yang satu lagi mengenakan pakaian merah.
Masri dan timnya sehari mengenakan kemeja berwarna biru tua. Ia memulai aktivitasnya sebagai porter sejak pukul 09.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB.
Pengalamannya bertahun-tahun menjadi porter membuatnya tahu betul rutinitas di Stasiun Kereta Api Bandung.
Bahkan, terkait nama serta jurusan kereta, jam keberangkatan, hingga lajur yang akan digunakan satu kereta dengan jurusan tertentu sudah di luar kepala.
"Mulai kerja jam 09.00 WIB pagi sampai 21.00 WIB sampai terakhir Mutiara dan Harina yang ke Surabaya terkahir, istirahat pulang ke rumah kadang juga istirahat di Stasiun. Kemudian saya mulai lagi jam 03.00 WIB pagi. Tapi keretanya datang jam 04.00 lebih. Setelah saya selesai saya gantian dengan group 2 yang palai kemeja merah. Jadi ada shift," ucap dia.
Resiko kerja yang dialami porter bukan hanya soal salah mengantarkan penumpang.
Namun, risiko kesehatan pun rentan dialami seorang porter. Bayangkan saja, satu orang porter maksimal membawa barang seberat 20 kilogram.
Dalam perkembangannya, beban tersebut telah diatur oleh pihak KAI. Berbeda dengan masa sebelum KAI mengalami perubahan, seorang porter kadang membawa barang penumpang lebih dari aturan yang sekarang berlaku.
"Jangan melebihi 20 kilogram, karena ada aturannya, tapi kita enggak ngasih tarif ke pelanggan. Soalnya emang enggak boleh, jadi kalau sekarang bebannya 20 kilogram dia ngasih cuma Rp 10.000 ya saya terima, tergantung konsumennya," jelas dia.
Baca juga: Sejarah Stasiun Brumbung, Stasiun Tertua yang Usianya 156 Tahun
Sekalipun mesti mengangkut barang bawaan penumpang seberat 20 kilogram, akan tetapi saat ini para porter telah dibantu dengan fasilitas troli yang disediakan KAI.
Meski begitu, saat ini Masri tak dapat menentukan pendapatannya per-hari. Hanya saja, jika Stasiun sedang ramai, upah sebesar Rp 100.000 hingga Rp 200.000 bisa dikantongi.
"Tergantung dapat rezekinya, sekarang sebetulnya agak susah menentukannya. Ya sedang ramai mah kurang lebih Rp 100.000 sampai Rp 200.000 bersih," tuturnya.
Kendati tak memiliki penghasilan yang tak menentu, pendapatan yang hari ini tetap ia syukuri. Pasalnya, ia membandingkan saat Covid-19 melanda.
Profesi porter pun, kata dia, sangat terimbas atas kejadian tersebut. Ia mengaku sangat terganggu, bahkan, sempat tak memiliki penghasilan selama empat bulan.
"Saya stres, terdampak banget, kadang hanya dapet buat rokok saja. Masa saya harus minta ke orang tua, jadi para porter itu kena imbasnya, tapi ada tunjangan dari Kepala Stasiun, dari Dirut PT KAI dan Menteri Perhubungan (Menhub)," kata dia.