Ia menjelaskan rentan 1980 hingga 1990-an pembangunan di wilayah Bandung Selatan belum terlalu masif atau banyak.
Begitu pula lebar Sungai Citarum belum menyempit seoeeti hari ini, sehingga saat itu ketika banjir datang hanya sampai semata kaki saja.
"Itu juga enggak masuk rumah, kalau sekarang beda. Rumah saya dikepung air Citarum dari depan dan belakang, depannya luapan banjir di jalan raya, belakangnya yang dari selokan nembus ke Citarum," ungkap dia.
Baca juga: Tanggul Sungai Cilamaya dan Citarum Kritis, Rawan Jebol hingga Sebabkan Banjir
Kediaman Elianti tepat berada di lokasi yang rendah, dibanding dengan tempat tinggal yang lain yang lebih tinggi.
Akibatnya, ketika banjir datang rumahnya yang paling pertama terkena, tapi paling lama surut.
"Apalagi rumah saya sudah kayak kolam atau akuarium. Rumah saya datang paling awal si airnya, surutnya paling lama kalau banjir tahunan ini," tutur dia.
Dulu usai banjir, ia dan suami hanya membersihkan bagian luar rumah saja. Sedimen lumpur, sampah, dan bebatuan kerap ia temui.
Namun, berbeda dengan saat ini. Setiap banjir, bagian dalam rumahnya ikut terendam, ia juga harus mensiasati bagian-bagian dalam rumah agar tak tergenangi banjir. Seperti, temlat tidur, serta perabot lainnya.
Baca juga: Saluran Air ke Sungai Citarum Dipenuhi Busa, Keluarkan Bau Tak Sedap
Tidak hanya itu, lumpur serta material banjir yang lain juga usai banjir bisa dijumpai di dalam rumah.
"Kalau bebersih dengan lumpur-lumpurnya juga. Kalau sudah habis air yang kotor enggak lama dari belakang keluar air bersih dari selokan belakang yang nyambung ke Citarum," tutur dia.
Ditanya, terkait perjuangannya hidup berdampingan dengan banjir, Elianti hanya bisa tertawa saja.
Sejak ia memutuskan menikah dan memiliki anak di tengah banjir Sungai Citarum, perjuangan yang dilakukanya sudah beragam.
"Anak-anak kalau sekolah terus lagi musim hujan ya anak-anak saya pasti kebanjiran baik pulang atau pergi, apalagi saya yang stay terus di rumah," terang dia.