Panggung dan segala atribut properti di atasnya, yang kami buat semalam suntuk, hanya dipakai untuk pertunjukan setengah jam lebih. Selebihnya dibongkar.
"Namun di balik proses panjang itu, kami belajar tentang kerja sama dan menekan ego. Dari teater, saya belajar tentang mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan bersama. Bagaimana mengusahakan segala sesuatu dari modal seadanya," kata Faizol.
Bukan saja kesan, tantangan sudah pasti ditemui pria 32 tahun itu. Salah satunya soal pendapatan.
Menurutnya, di Karawang, Jawa Barat, menjadikan profesi seniman sebagai pekerjaan primer tentu tidak akan cukup.
"Ekosistem kesenian di Karawang, terutama teater, belum semapan kota lain seperti Bandung, Jakarta, atau Yogyakarta," ujarnya.
Menurutnya, ekosistem teater yang sehat di sebuah kota adalah apabila empat syaratnya terpenuhi.
Pertama, kritikus yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak punya peran ganda sebagai kritikus sekaligus pelaku teater.
Kedua, penonton yang bukan dari kalangan pegiat teater, tapi berasal dari penonton umum yang penuh kesadaran mencari dan menonton pertunjukan teater.
Selama ini, ujarnya, penonton teater di Karawang berasal dari pegiat teater, atau kawan dan saudara dari pelaku teater yang sedang pentas.
Ketiga, pemerintah daerah yang berpihak pada kesenian. Minimal punya pos anggaran khusus untuk seni pertunjukan. Minimal, disediakan tempat pertunjukan yang representatif.
Keempat, stakeholder dan perusahaan swasta yang mensponsori pertunjukan, atau memberikan dana corporate social responsibility (CSR) demi keberlanjutan pertunjukan sebuah grup teater.
"Di Karawang, penghasilan dari tiket tidak menutupi ongkos keseluruhan proses. Balik ke poin nomor tiga, ketiadaan tempat repsesentatif membuat ongkos pertunjukan teater jadi mahal. Kami perlu biaya lebih untuk sewa tempat atau aula, sewa lampu, sewa perangkat audio, sewa mobil untuk memindahkan properti dari lokasi latihan ke lokasi pertunjukan," ucap Faizol.
Kendati demikian, Faizol mengaku tak gentar. Ia tidak menjadikan profesi pekerja seni sebagai pekerjaan utama.
Kini, dia masih bekerja sebagai karyawan di sebuah pekerjaan, yang tiap Senin sampai Jumat bekerja seperti biasa.
"Setiap Sabtu dan Minggu, saya menjalani profesi sekunder saya sebagai pekerja seni, berproses di UKM Teater Gabung Unsika," ujarnya.