Belum lagi sekarang ada sistem "Aceng (Argo Goceng) dan Slot" yang bikin persaingan antar-driver makin sempit dan rumit.
“Kenaikan itu bukan buat kami, tetapi buat aplikator. Kalau tarif mahal, penumpang bisa kabur. Orderan turun, ya driver juga yang rugi. Dulu bisa Rp 10.000 lebih, sekarang paling Rp 8.500. Itu juga belum tentu bersih karena masih dipotong ini-itu,” kata Niko ditemui terpisah di area Cibinong.
Niko juga mengkritik sistem Aceng dan Slot yang diterapkan oleh pihak aplikator.
Sistem ini memaksa pengemudi membayar untuk mendapat prioritas order di zona tertentu dan dalam waktu tertentu.
Jika tidak, mereka tidak akan mendapat order sama sekali.
Karena itu, ia menyebut bahwa kenaikan tarif hingga 18 persen hanya akan berdampak jika benar-benar tepat sasaran.
"Sistem ini ngotak-ngotakin wilayah. Kalau tidak daftar, tidak dapat order. Kalau daftar, harus bayar. Argo ke customer murah, ke kami makin kecil. Kami kerja keras, tapi potongan makin banyak," ujarnya.
"Kalau kenaikan 18 persen bikin sejahtera, saya setuju. Tapi sekarang saja customer sudah uring-uringan karena mahal, nanti kalau naik lagi bisa lari ke aplikasi lain atau taksi listrik," tambahnya.
Baca juga: SPAI Minta Potongan Aplikasi Ojol Turun Jadi 10 Persen
Keresahan lain datang dari Riyanto (35), pengemudi ojol yang juga merasakan penurunan drastis tarif untuk perjalanan jarak jauh.
"Dulu dari Cibinong ke Ciomas bisa Rp 51.000, sekarang cuma Rp 31.000. Kirim paket ke Jakarta Barat dulu Rp 121.000, sekarang tinggal Rp 95.000," kata Riyanto.
Ia juga mengungkapkan bahwa aplikator kini menggunakan sistem navigasi internal yang cenderung mencari jalur alternatif lebih pendek.
Hal ini membuat tarif otomatis lebih rendah, meski jarak tempuh dan risiko tetap sama.
"Sekarang aplikator tidak pakai Google Maps lagi, mereka punya sistem sendiri. Kalau kita lewat jalan pintas, nanti sistem ikutin, jadi tarif turun. Padahal capek dan risiko tetap tinggi," ungkapnya.
Menurut Riyanto, janji kenaikan tarif yang diklaim bisa menyejahterakan driver belum terlihat nyata di lapangan.
Ia menilai, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya soal tarif, tapi juga pembenahan sistem dan penghapusan potongan yang membebani.
"Kalau tarif naik tapi penghasilan tetap kecil, kami mau makan apa? Orang kantor aplikator coba saja turun ke lapangan, baru tahu rasanya," kata dia.
Para pengemudi berharap pemerintah tak hanya bicara soal tarif naik, tetapi juga menekan aplikator agar membuat sistem yang adil bagi pengemudi.
Bagi para pengemudi di lapangan, wacana ini tak cukup memberikan harapan jika potongan oleh aplikator tetap tak terkendali.
"Bilangnya naik buat sejahterakan driver. Tapi faktanya, pendapatan makin kecil, potongan makin banyak, risiko tetap tinggi. Kenaikan tarif tidak akan berarti kalau sistemnya masih memberatkan driver," kata Riyanto.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang