"Jadi kira-kira begini, itukan terobosannya tentang pengakuan nilai ekonomis atas hak kekayaan intelektual, jadi terobosan barunya itu hak-hak atas kekayaan intelektual bisa menjadi agunan di perbankan," jelasnya.
Setia melihat, hal ini merupakan kabar baik bagi para pelaku ekonomi di Indonesia. Paling tidak, katanya, kekayaan intelektual diapresiasi oleh negara.
"Jadi tentunya ini sesuatu yang baru dan tentu harus kita sambut baik, karya intelektual yang telah memperoleh pengakuan haki, itu bisa dijadikan agunan di perbankan. Tentunya hal ini menjadi kabar gembira bagi para pelaku ekonomi kreatif," ujarnya.
"Karena dengan demikian akses mereka terhadap sumber pembiayaan menjadi lebih terbuka. Karena karya intelktual mereka memiliki nilai ekonomis untuk menjadi jaminan perbankan," tambahnya.
Namun, ia memberikan catatan terkait PP tersebut. Pemerintah, kata Setia mesti melakukan langkah yang lebih operasional.
Pasalnya, bukan perkara mudah mengukur Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi nilai ekonomis.
"Pihak perbankan itu masih harus mengkaji, mempelajari bagaimana teknisnya. Jadi sekarang tidak harus lagi slip gaji, dan lain halnya," beber dia.
Perbankan, kata Setia, diatur oleh Prudensial Prinsipel. Artinya, diperlukan kehati-hatian dalam mengeluarkan dan perbankan untuk masyarakat, terutama soal PP tersebut.
"Tapi perbankan harus menkaji itu bagaimana cara mengukur nilai ekonomis dari kekayaan intelektual tersebut, karena perbankan kan juga diatur oleh ketentuan prudensial prinsipel ya, kehati-hatian perbankan. Jadi perbankan juga harus berhati-hatk mengambil resiko, karna dana perbankan itu juga dana masyarakat. Kalau tidak presisi menilai, ditakutkan mengambil resiko terlalu besar," terangnya.
Sejauh ini, sambung Setia, tidak ada rumus khusus secara ekonomi menilai karya seni.
Akan tetapi dari persepektif ekonomi, selama karya itu bisa dijual, maka akan akan terbangun nilai ekonomis.
" Tapi kalau untuk besaran nilainya, itu kemudian bergantung dari pasar seberapa berani membeli," tambahnya.
Kemudian, Setia menjelaskan perlunya melihat pasar dalam penerapan PP tersebut.
"Kalau berbicara pasar, itu kan berati berbicara hukum permintaan-penawaran, kalau peminatnya banyak, otomatis harganya akan tinggi," ungkapnya.
Baca juga: Kanal YouTube Persib Bandung Diretas, hingga Rabu Pagi Hilang dari Pencarian
Setia mengungkapkan, baik pemerintah atau perbankan harus berhati-hati dalam mengkaji PP tersebut, lantaran karya seni yang bernilai ekonomis sifatnya masih fluktuatif.
Pasalnya, tidak semua konsumen mampu memberi nilai atau membeli produk tersebut dengan nilai yang sama.
"Nah karya inikan termasuk dalam intangible asset (tak berwujud tapi bernilai), tidak seperti tanah misalnya, yang nilainya cenderung tidak mengalami penurunan. Atau misalnya bangunan, itukan bisa dihitung harga wajar kenaikannya. Sementara kalau karya atau hak kekayaan intelektual sebagai intengible aset, itukan harganya akan sangat fluktuatif, karena tidak semua orang bisa memberi nilai yang sama akan produk itu," sambung dia.
"Seperti misalnya kita melihat lukisan, mungkin yang tidak suka lukisan akan menghargainua dengan murah, tapi bagi yang suka, akanemberi harga mahal. Jadi memang untuk kategori intengible aset memang tidak ada standar untuk mengukurnya. Jadi memang subjektivitasnya tinggi," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.