Di setiap lembar foto itu, ada wajah anak-anaknya yang menjadi alasan mengapa ia terus bertahan.
Ia mengaku tak pernah benar-benar libur.
Jika musim ramai tiba, ia bisa mengerjakan trompet sejak pagi hingga lewat tengah malam.
“Capek mah pasti. Tapi kalau keinget anak-anak, ya semua hilang,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Saat foto-foto itu diambil, ia baru saja selesai menjemput bahan dari pemasok.
Isi plastik besar yang tergeletak di sampingnya adalah corong trompet yang harus ia rakit menjadi produk siap jual.
Satu per satu, ratusan corong plastik itu akan berubah menjadi barang yang menghidupi keluarganya.
Anak-anaknya, kata dia, kini mulai tumbuh besar. Dua di antaranya masih sekolah.
Yang paling kecil masih kerap menemani ibunya meski hanya duduk di samping sambil menonton televisi.
“Saya kerja gini supaya mereka bisa sekolah setinggi mungkin. Jangan sampai kayak saya,” ia melanjutkan.
Ia tak menampik bahwa harga trompet sering kali tak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan.
Apalagi jika bahan baku naik jelang akhir tahun. Jika itu terjadi, ia tidak pernah menurunkan kualitas.
“Orang beli mau yang bagus. Kalau buruk, nanti kapok,” ujarnya.
Musim pergantian tahun menjadi masa paling sibuk. Rumah kecilnya berubah menjadi semacam pabrik rumahan.
Semua sudut terisi tumpukan terompet berwarna merah, biru, emas, hingga perak. Hanya celah kecil di tengah ruangan yang ia sisakan untuk duduk.