Dari hasil bertani, kata Abah Ajo, sang Ayah hanya mampu menyekolahkan dia dan adiknya hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Wajar saja, ia dan sang adik tak mampu meraih sekolah yang layak. Pasalnya, sang Ayah hanya menjadi petani singkong dan jagung, itu pun menggarap lahan milik orang lain.
"Berapa ya dulu hasilnya, saya lupa, tapi yang jelas mah gak cukup buat sekolah. Hasil bertani kan dibagi sama yang punya lahan," kata dia.
Baca juga: Di Balik Indahnya Embun Es di Ranupane, Petani Terancam Gagal Panen
Nasib sial seperti tak berkesudahan, di usia yang cukup muda. Kala itu, Abah Ajo harus kehilangan sang Ibu, lantaran sakit yang tak berkesudahan.
"Ya usia berapa, 16 atau 17 tahunan lah, mamah meninggal, di situ saya mulai berpikir enggak bisa ngandelin terus Singkong sama Jagung aja," ungkapnya.
Hanya untuk mendapatkan uang lebih serta makan sehari-hari yang kayak. Abah Ajo muda mulai mencari pengetahuan tentang dunia pertanian.
Modal otot, mampu membaca dan menghitung secukupnya, saat itu Abah Ajo mulai bertualang mencangkul lahan milik orang dengan garapan tani yang berbeda.
"Mulai, Abah cari dan lihat hasil pertanian apa yang bisa menguntungkan atau dapet uang lebih, Abah cari tuh kemana-mana, masih wilayah Priangan Timur," tuturnya.
Baca juga: Airi 800 Hektar Sawah, Petani di Magetan Bendung Sungai Pakai Ban Bekas dan Karung Pasir
Pangandaran, Banjar, Tasik, Garut hingga Subang, Purwakarta dan Sukabumi, ia jajaki. Bandung Raya sudah pasti.
Berbagai bibit sayuran, umbi-umbian hingga kopi ia jajaki. Pun dengan pohon-pohon pembawa pundi-pundi, seperti cengkeh, Jati, dan Tembakau.
"Keliling, sambil garap lahan orang, tiga bulan di lahan siapa misalnya di Lembang dapet bibit dan Ilmunya, Abah catat dan pindah lagi, gitu aja terus," kata Abah Ajo.