Kepada para calon sarjana itu, Abah Ajo kerap memberikan pembelajaran pengalaman tanpa harus melihat kajian teoretis.
"Ah saya ajarin aja yang Abah saya ajarin, tentang tanah lewat istilah kolot baheula (orangtua zaman dulu)," sambungnya.
Kepada Kompas.com, Abah Ajo mengungkapkan kerap mengelus dada ketika mengajari mahasiswa.
Baca juga: Paceklik, Petani Cabai Kabupaten Bandung Keluhkan Cuaca Ekstrem hingga Gangguan Hama
Bukan tanpa sebab, ia menyebut terkadang mahasiswa berpegang pada apa yang diajarkan di kampus dan kerap mengkerdilkan pengalaman petani di lapangan.
"Kadang suka ada yang gitu, keukeuh (yakin) pada kajian di kampus, padahal pengalaman saya, bukan sombong ini mah, lebih mateng lah," tuturnya.
Kendati pernah mencetak sarjana pertanian, Abah Ajo kerap menolak permintaan kampus, dosen atau mahasiswanya agar datang satu kegiatan untuk sekadar menerima penghargaan.
Baginya, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa disebarkan dan bermanfaat pula bagi yang mau meneruskan.
"Pesan orang tua saya, gak ada ilmu yang berat ketika di bawa, ilmu pasti bermanfaat buat kita atau buat orang lain, kalau buat orang lain ya kalau diajarkan," ungkapnya.
Baca juga: Cerita Para Petani Bangka, Harga Pupuk Malah Naik Saat Harga Sawit Menyedihkan
Saat ini di lahan milik orang lain, Abah Ajo sedang berupaya menanam Kayu Manis, Kopi dan Kacang Tanah.
Lahan yang berundak-undak itu diubahnya menjadi kebun yang asri. Abah Ajo membagi lahan tersebut ke dalam tiga bagian, sebelah barat untuk Kopi, Utara Kayu Manis dan Timut untuk Kacang Tanah.
"Ini punya orang, kalau berhasil ya nanti dijual ke tengkulak, kata yang punya yang penting lahannya bermanfaat hasilnya mah buat Abah, syukur alhamdulilah enggak dibagi dua," kata dia.
Sebagai gantinya, sang pemilik lahan, kata dia, meminta Abah Ajo untuk menjaga Villa miliknya.
"Ya Abah juga tahu diri, Abah jagain juga Vila dia," katanya.